Bs1995. Com
Suasana pagi tidak lah seindah hari kemarin, mentari yang dulunya bersinar cerah kini seakan tertutup awan hitam, langit bagaikan siap menurunkan topan dan badai. Anak cerdas seperti dia tidak seberuntung seperti perempuan lain, dengan keadaan kaki yang lumpuh membuat sang ayah tidak yakin akan kesungguhan anaknya. Cita – cita dan harapan terasa mulai pudar, hati yang tadinya tenang segenap berubah menjadi resah dan gelisah. Suara cukup keras terdengar dari ruangan depan, tak terkecuali isak tangis pun menyertai. Astrid memeluk kaki ayah – bundanya bermohon agar diberikan izin untuk melanjutkan kuliyah seperti sahabatnya yang lain, namun…..
“Ayah tidak akan mengizinkan kamu melanjutkan studi, akan ada baiknya kamu tinggal dirumah, temani ibumu anakku “ pernyataan itu terdengar lantang.
“ Mengapa ayah berkata demikian? Aku seakan terlahir sebagai anak yang tidak berguna dikeluarga ini. Selama ini aku tidak pernah mengecewakan ayah, lalu kenapa ayah bunuh cita – citaku ? “Astrid terus memohon, Ia mencoba mencari setitik pembelaan dari ibunya namun apa daya, hal itu tidak didapatkan.
“ Kau hanya akan menambah beban untuk dirimu sendiri, Astrid. Fikirkanlah, dan lihatlah keadaanmu yang lumpuh total sekarang. Dengan begini kau akan tetap melanjutkan studi? Nantinya jika itu terjadi, kau hanya merepotkan orang lain dan juga ayah “ ujar sang lelaki tua itu seraya lebih mengeraskan suaranya sembari melayangkan tatapan sinis.
“ Ayah, Ibu. Dengarkanlah anakmu yang cacat ini. Aku memang cacat total secara fisik, tapi aku tidak cacat secara otak, aku masih bisa melihat dan berfikir. Aku mohon ayah, ayaaaaah “ teriak Astrid menangis histeris sampai tubuhnya jatuh tersungur ke lantai, tak tersadarkan.
Dua jam kemudian Ia baru siuman setelah seseorang memanggilnya berulang – ulang, suara itu terdengar jelas ditelinga namun rupa wajahnya masih terlihat samar dimatanya. Dengan tubuh yang masih sangat lemas dan kelopak mata sedikit bengkak Ia mencoba berusaha bangkit lalu kemudian duduk bersandar, kepalanya masih terasa berat untuk dipalingkan. “Astrid, Astrid? “ apakah kau baik – baik saja? “ panggilan terdengar lagi, suara perempuan. Dengan penglihatan sedikit buram Ia menoleh ke sumber suara yang memanggilnya sejak tadi. Tampak seorang perempuan duduk disamping kanan bersama ibunya sementara disamping sang ayah ada seorang lelaki ikut mendampingi. “ Siska. Apakah itu kamu ? “ Tanya Astrid seakan tak percaya kalau yang duduk bersebelahan itu adalah sahabatnya sewaktu SMP dulu, keduanya tersenyum kelihatan ada sedikit nuansa kebahagiaan terlukis. Keduanya kembali bernostalgia, saling berbagi kisah setelah sekian lama berpisah. Pukul satu lebih lima puluh lima menit semuanya menuju meja makan, dua keluarga itu terlihat sangat akrab seakan tidak ada dinding pemisah antara si Kaya dan si miskin. “ Sudah siapkah semua keperluanmu, barang – barang yang akan kau bawa nanti Astrid ? jika sudah siap kita akan berangkat menuju kota Bandung sekarang juga “ kata Om Dion selaku ayah dari siska. Astrid yang sementara meneguk air tiba – tiba tersendak mendengar pernyataan itu, Ia mengerti dengan maksud perkataan Om Dion tadi. Secara spontan Ia memalingkan kepala kepada ayahnya dan ternyata pandangan itu dibalas positif disertai senyuman dari kedua orang tuanya, itu berarti restu telah diberikan. Kesyukuran Astrid kian bertambah saat mengetahui kalau biaya kuliyahnya ditanggung seratus persen oleh keluarganya Siska. Bahagia terlukis diwajahnya, meski Ia tahu harus rela berpisah sementara dengan kedua orang tua. Cita – cita tetaplah harapan, hidup harus menentukan pilihan sebagai tonggak masa depan demi kehidupan akan datang. “ Jagalah dirimu sebaik mungkin, kejarlah cita – citamu, raihlah apa yang telah kau niatkan, anakku “ kata kedua orang tuanya. Setelah mencium tangan kepada dua sosok mulia tersebut, Ia pun berangkat. ***BS***
Awal mengenal lingkungan kampus memang terasa sangat berbeda jika dibandingkan dengan SMA, betapa tidak! Bagi mahasiswi seperti Astrid hal ini menjadi tantangan terbesar selama hidup sebagai mahasiswi jurusan sastra oleh sebab kondisi fisik yang cacat membuat mahasiswa lain memojokkannya. Sindiran, hinaan, cacian selalu menukik membisingkan telinga perempuan seperti dia. Namun baginya semua itu dianggap angin lalu, sebagai seorang penyabar Ia tidak pernah membenci apalagi sampai membalas cacian tersebut, yang ada Ia tetap berusaha mendekati mereka. Satu – satunya teman bercakap hanyalah Siska, keduanya mengambil jurusan yang sama, saling membantu dan memahami satu sama lain. Setelah jam perkuliahan Astrid ditemani Siska menuju ruang perpustakaan berniat mencari buku referensi untuk ujian proposal nanti, tiba – tiba dari belakang terdengar suara salam, Astrid menjawab lalu menoleh…..
“ Hy… boleh aku tahu namamu ? “ Tanya seorang laki – laki dengan tubuh tinggi kekar sembari mengulurkan tangan ingin berkenalan.
“ Astrid “ jawabnya singkat dan membalas jabatan tangan tersebut.
“ Kau sendiri siapa ? “ Ia balik bertanya
“ Hafidz Setiawan, panggil saja Hafidz “ ujar lelaki itu.
Dari sinilah Astrid mulai menemukan sosok yang dianggapnya baik untuk dijadikan sahabat, keduanya terlihat asyik berbagi cerita hingga tanpa sadar jam menunjukan pukul enam belas tepat namun Astrid dan Hafidz belum beranjak dari tempat duduk sementara siska membiarkan mereka tetap berbincang, sebagai seorang sahabat dia mengerti dari moment inilah Astrid bisa menemukan teman baru. “ Aku sudah melihat karya tulisan tanganmu dibeberapa madding kampus dan sudah merilis Sembilan novel bertemakan pendidikan, hanya saja disitu pengarangnya di inisialkan AG dan aku yakin, AG itu merupakan singkatan dari Astrid Giu kan? Kau kan pengarang novel – novel itu ? “ Tanya Hafidz cukup merasa penasaran. “ Alhamdulillah, iya. Itu adalah aku “ kata Astrid kembali tersenyum. Terobati lah rasa penasaran siKutu buku ( Julukan Hafidz Setiawan ), setelah mendapat pengakuan dari pengarang Novel yang selama ini dianggap misteri olehnya. Tak lama kemudian Hafidz mengambil sesuatu didalam dompet lalu memberikan kartu nama serta alamat dengan tujuan mengajak Astrid kerja sama dalam bidang percetakan novel dan cerpen diUniversitas setempat, lalu dia pun lansung pamit.
**** Tak disangka, Tak terasa ! empat tahun kini telah berlalu, kenangan suka maupun duka telah dialami oleh perempuan cacat seperti Astrid. Ketabahan selalu menyertai dirinya meski masuk-keluar kampus hanya bertemankan tongkat dalam setiap kesehariannya, Minder ? Gengsi ? Tidak….Tidak…. Perempuan sepertinya tak pernah sedikitpun merasa minder ataupun gengsi sebab janji untuk untuk merubah keluarga telah ada sejak awal, nama baik orang tua selalu dijunjung tinggi yang nantinya akan dibuktikan kepada khalayak bahwa seorang yang cacat bisa sukses. Terbukti, novel gubahannya banyak laris dikonsumsi dipasaran nasional bahkan internasional.
Satu hari sebelum acara wisuda. Astrid tampak gelisah sebab kedua orang tuanya sudah berjanji untuk datang lima hari sebelum acara wisuda dilaksanakan namun sampai dengan sekarang belum juga tiba, Ia semakin panik. Saat itu Astrid dan siska berada dirumah Hafidz, semua teman sekelas calon wisudawan-wisudawati berkumpul dirumah miliknya yang megah itu. Mereka mengadakan pesta kecil-kecilan untuk syukuran atas sebuah keberhasilan.
“ Astrid. Silahkan dicicipi makanannya, tuh teman-teman lain udah pada makan “ kata Hafidz mengajak. Namun beberapa kali ajakan itu tak direspon olehnya, Ia terus saja melamun seperti anak ayam kehilangan induk. Meskipun Siska sudah berusaha menghiburnya namun usaha itu gagal, gagal total. Sampai dengan pukul dua puluh satu lewat lima belas menit Astrid tidak beranjak dari tempat duduk, perasaannya berkata akan ada peristiwa besar yang akan terjadi, entah apa hanya saja nuraninya berisyarat demikian. Resepsi wisuda tinggalah esok hari namun kedua sosok mulia belum juga memberikan informasi. Saat sedang duduk bersama sahabat-sahabatnya, apa yang terjadi ?.......ZZZzzztt,, ZZZzzzt,,Zzzzt,, handphone milik Astrid bergetar tanda ada pesan masuk. Betapa gembiranya Ia tatkala menatap beberapa inbox berasal dari nomor kontak milik sang bunda, karena tak sabar Ia lansung membuka pesan itu. Dibacanya dengan seksama, dan…………… wajaha gembira tadi hilang tidak lebih dari satu detik saking cepatnya ketika membaca isi pesan teks tersebut. “ Tidak,,,, Tidak,,,…… Tidaaaaaaaaakkkk…… Ayaaaaaaaaaahhh !!! “ handphonenya lansung jatuh ke lantai, wajahnya kembali pucat pasi lalu perlahan tersungkur. Melihat sudah ada sesuatu yang aneh dari wajah anak desa itu Hafidz lansung menabrak meja makan dan lansung menangkap kepala Astrid agar tidak terbentur, tepat! Belum sempat kepalanya sampai di lantai tangan Hafidz sudah lebih dulu menangkapnya. Hal yang tidak di inginkan pun akhirnya bisa dihindarkan. Sejenak malam jadi hening berubah tangisan pilu menyayat hati dan semua yang hadir dimalam itu turut berbela sungkawa, ayah Astrid telah meninggal dunia. “ Betapa malang nasibmu, dan betapa kuatnya jiwamu Astrid “ ucap Hafidz mengeluarkan air mata. “ Terlalu banyak cobaan dalam hidupmu, sahabatku “ Siska meratap sembari menangis di pelukan sahabatnya sambil mengelus rambut Astrid secara perlahan. Satu jam kemudian Ia baru siuman, semua sahabat menyampari berusaha mencoba menghibur dan memberikan dorongan. “ Aku akan pulang, aku ingin menatap wajah ayah” ujar Astrid dengan suara yang sudah sangat parau. Jarak antara kota kekampung halamannya sangatlah jauh harus menempuh jarak sekitar dua ratus kilometer, dengan jarak tempuh dimalam hari yang demikian jauh maka sangat mustahil untuk kembali. Apalagi esok merupakan penentu dan segala akhir dari perjuangan selama empat tahun, Astrid semakin dilema namun disisi lain Ia tak bisa berbuat apa-apa.
*** kebahagiaan di hari itu tak mampu menutui kesediahan, betapa tidak! Ia merasa kehilangan yang tiada tara, dengan kondisinya yang lumpuh kini deritanya semakin bertambah dan harus ikhlas harus kehilangan sosok seorang ayah. Astrid menyandang gelar sarjana sastra dengan IPK tertinggi yakni 3, 99 kemudian disusul oleh Hafidz dan Siska.
Lima jam Pasca setelah wisuda…
“ Om Dion, Siska, Hafidz akan pulang kekampung halamanku, jika waktu mengizinkan dengan cepat aku akan kembali lagi “ ujar astrid memohon pamit.
“ Aku akan ikut denganmu, Astrid. Izinkan aku mengantarmu sampai ditujuan dengan mobilku ini “ pinta Hafidz. Melihat kedua sahabat pergi Siska merengek kepada ayahnya untuk bisa ikut dan tentu saja Om Dion mengindahkan permintaan anaknya itu. Pukul tiga sore mereka pun berangkat. Sehari semalam berada diperjalanan maka sampailah mereka ditempat tujuan, baru saja turun dari mobil Astrid lansung bersujud diatas tanah lalu masuk kedalam rumah menuju ibunya sementara Hafidz dan Siska menyusul belakangan.
“ Bunda… di manakah makam ayah? “ Tanya astrid dengan nada gemetar, pipinya mulai basah tersiram butiran bening. Dari belakang siska lansung memapah menuju tempat dimana sang ayah dimakamkan. Diatas gundukan tanah Ia bersimbah pilu, bersujud seraya menggenggam tanah dan mengelus – elus batu nisan sebagai tanda kepala sang ayah….
“ Ayah !!! Izinkan aku membelai kepalamu hari ini, maafkan aku jika pernah berbuat salah. Ayaaahhh !!! mengapa engkau pergi sebelum aku memberikan kebahagiaan? Astrid terus menangis hingga bajunya basah dengan air mata. Ayahhhh… Lihatlah ini, lihat ayaaaaahhh!! Ini yang pernah aku janjikan saat engkau ragu akan keberhasilan studiku. Jeritnya lagi sembari mengeluarkan ijazah disertai dengan toga. “ Ayaaaah, aku berjanji akan menjaga ibu” belum juga kata-katanya terlanjutkan Astrid kembali tersungkur pingsan dan dengan sigap Hafidz lansung menggendongnya menuju rumah.
Malam itu bulan bersinar terang, suasana angin malam terasa sepoi-sepoi. tiga kawan sejoli duduk dipekarangan rumah baru milik Astrid, menikmati indahnya malam sambil berbincang-bincang untuk proses pendidikan selanjutnya.
“ Aku akan lanjut S2. Apakah kau juga akan melanjutkan studi di jenjang S-2, Astrid ? “ Tanya Siska
“ Iya, pasti “ jawabnya terlihat penuh komitmen. Bagaimana denganmu Hafidz ? “ Astrid kembali bertanya.
“ Aku juga pastinya tidak akan kalah dari kalian “ tukas siKutu buku dengan nada terdengar bercanda bermaksud mencoba menghibur Astrid yang sedang dilanda duka.
…….. Pada akhirnya ketiga sahabat ini sepakat untuk melanjutkan studi di jenjang S2, pada tahun yang sama dan Universitas yang sama pula ……..
Epilog
Pribadi yang dulunya di cerca kini menjadi bintang kertas ( Novelis ) yang mana kepopulerannya semakin lengkap ketika gelar strata satu jurusan Sastra berada di atas pundaknya, dengan komitmen memperbaiki tatanan kehidupan keluarga dimasa mendatang. Cercaan, hinaan, selalu tertuju kepadanya. Hanya sahabat sejatilah yang senantiasa menemani dan melengkapi kehidupannya.
kini Astrid, Hafidz dan Siska melanjutkan studi S-2 di salah satu Universitas ternama di daerah CANADA. Dan sekarang Astrid Giu mendapatkan Nobel Penghargaan Internasional “Perempuan Motivator Dunia” dari pihak pemerintah Negara CANADA.
Setelah selesai menyelesaikan studi S-2, Astrid Giu dan Hafidz Setiawan hidup bersama dan membuka Yayasan yang berbasis Sastra Indonesia. Sementara keberadaan Siska masih bersifat misteri.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar