Senin, 03 Oktober 2016

Cerpen Samudera Mimpi Part I

Nama : Budhi Setiawan Moidady
TTL : Luwuk, 4 Juni 1995
Pekerjaan : Mahasiswa
PT : Stia Bina Taruna Gorontalo
Prodi : Ilmu Administrasi Negara
Semester : IX ( Sembilan )
Alamat : Jl. Jaksa Agung Soeprapto        
    No. Hp     : 085255117027                                        

Pengalaman Organisasi :
Penggagas organisasi PENSIL ( Pencinta Sastra Indonesia-Lopito ) Kabupaten Banggai Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tengah.
Penggagas Organisasi MAPALA BIRU
Sekretaris Jendral Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia ( GMNI ) Provinsi Gorontalo, periode 2016/2018.
Mantan Anggota Kelompok Pecinta Alam ( KPA ) Montolutusan, Provinsi Gorontalo.
Mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Publik, Stia Bina Taruna Gorontalo.
Anggota Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia ( PMII ) Provinsi Gorontalo.
Mantan Pengurus Oi ( Orang Indonesia ) Provinsi Gorontalo.
Anggota Pelajar Islam Indonesia ( PII ) Sulawesi tengah.

Peraih medali emas dalam ajang penulisan CERPEN se-Provinsi Gorontalo tahun 2016.



Prolog

Lahir diantara keluarga tak berada hidupnya diapit oleh berbagai macam masalah dan dinamika kehidupan, liku – liku skenario dunia di lalui dengan penuh ketabahan, disaat cobaan kembali merangkak menuju bathin seorang insan. Berani menentang kehendak sang ayah demi sebuah cita-cita maupun impian. Bermodalkan tekad dan usaha Ia bisa melalui segalanya……..

 Selamat Membaca!!!






Samudera Mimpi : PART  I
 Budhi Setiawan, 4 Juni 1995.com


Dinginnya terasa menusuk kulit hingga ke tulang-belulang, pukul 04.30 dinihari. Embun telah membasahi sekitar pekarangan halaman, secara perlahan kabut yang cukup tebal kembali menutupi desa. Suara kokok ayam bersahut – sahutan itulah suasana disebuah pedesaan terpencil hal demikian tentunya tidak asing lagi dalam kehidupan manusia, dan kini tibalah waktunya, Shubuh. Assholaah tukhairuumminannaum… Adzan merambah dan membahana memecah keheningan, seruan Sang Pencipta dikumandangkan dengan lafadz yang begitu fasih membuat masing-masing individu berbondong bondong menunaikan kewajibannya. Satu  jam  kemudian….Greeekkk, greeekk !!! Suara pintu terdengar dibuka. Tampak seorang perempuan dengan kondisi tertatih bertemankan tongkat mencoba bangkit berdiri mendekat pada sebuah keran mengambil secawan air lalu membasuh wajahnya yang berminyak setelah beberapa jam tertidur pulas. Dari dapur terdengar suara agak sedikit berisik, piring dan gelas berdentang, dan Ia pun bergegas menuju kearah sumber suara itu. Disana ibunya sedang menyiapkan sarapan sementara  tampak pula seorang laki-laki cukup tua terlihat sibuk mengasah beberapa bilah parang dengan pakaian lusuh, sebut saja itu adalah ayah kandungnya. Selang beberapa menit sarapan telah tersedia dimeja, dua piring gorengan pisang dan umbi-umbian menjadi sajian utama, sangat sederhana bukan? Begitulah kehidupan keluarga para petani yang penuh dengan segala kekurangan, tak ada makanan istimewa seperti halnya masyarakat perkotaan.
 “ Ayah. Berhentilah sejenak! Sudah waktunya untuk sarapan “ katanya mengajak
Tanpa membuang waktu ayahnya lansung menuju meja makan kemudian mulai mencicipi hidangan ala kadarnya, tidak berapa lama beliau kembali bergegas menyiapkan segala sesuatu yang akan dibawa ke kebun, lalu pergi.
           Indahnya Pagi ! Mentari tampak kemerah-merahan diufuk timur, perlahan-lahan tetesan embun mulai sirna tatkala terkena pancarannya, semua orang terlihat mulai sibuk dengan urusan mereka masing. Para guru dan murid pergi kesekolah, nelayan kembali mengarungi samudera, para petani sudah siap beradu nasib menuju hutan belantara. Setelah semuanya beres perempuan muda ini menuju pekarangan rumah ditemani tongkat kayu yang selalu menemani keseharian menikmati keindahan pagi kala itu. Dia! Sebut saja Astrid, itulah nama panggilan sehari – hari. Perempuan bercirikan rambut panjang, tinggi, berkulit putih  usia 16 tahun ini telah menyelesaikan pendidikan setara SMA setahun silam. Pada awalnya Ia sudah bercita – cita untuk bisa menjadi polwan namun belum sempat impiannya itu terwujud, kejadian naas menimpa dirinya dan membuat Ia harus mengurungkan niat. Sebagai pribadi yang terlahir dari keluarga tak mampu Ia hanya bisa tawakkal dan tabah sebab uang yang seharusnya dipakai untuk keperluan kuliyah telah diperuntukkan kepada rumah sakit demi pengobatan dirinya, meskipun dokter telah menyatakan sembuh namun itu hanyalah syurga telinga, kenyataan menjawab bahwa perempuan seperti dia harus mengalami kelumpuhan total akibat kecelakaan tersebut. Hari – hari dilalui sebagai mana mestinya, tak ada keluh kesah, tak ada air mata yang keluar dari kelopak matanya yang indah, semua berjalan seperti biasa dan seperti seharusnya. Cukup lama Ia berdiam diri melamun dipekarangan gubuk itu, tiba – tiba ada sesuatu mulai merasuk dalam fikiran tatkala bola matanya tertuju melihat beberapa siswa memakai seragam putih abu – abu sejenak membuat Ia kembali terbuai akan kenangan bersama para sahabat sejolinya pada masa sekolah dulu yang kini telah lebih dulu berada dibangku strata satu. Angan kembali melayang, impian terbayang, perlahan hati seakan luluh dan berisyarat bahwa pada hidupnya yang sekarang terdapat ada 1001 kejanggalan.
“ Mungkinkah aku bisa? Dengan keadaan seperti ini rasanya aku tak mungkin seperti kalian, sahabatku. Akankah kita bisa duduk bersama  dibangku perkuliahan? Ohh Tuhan… dapatkah nasib ini berubah? Ataukah hanya tongkat ini yang akan menemaniku selamanya? Mungkinkah... mungkinkah…mungkinkah “ Ia menjerit dengan penuh kepiluan seraya memeluk tongkat itu hingga tanpa sadar butiran – butiran bening keluar dari kelopak mata dan membasahi kedua pipinya.
Tak sanggup lagi jika harus terus meratap, maka dengan langkah tertatih Ia berusaha berdiri  masuk kedalam rumah lalu merebahkan tubuhnya diatas  lantai yang beralaskan tikar seadanya, bermaksud menenangkan hati. Tapi semua tidak semudah itu, semakin Ia mencoba menenangkan diri semakin besar pula keinginan untuk melanjutkan apa yang sudah menjadi niat lurusnya yakni merubah kehidupan keluarganya. “ Jika aku hanya berdiam diri maka dinding rumahku tetaplah hanya bilahan bambu, atap ini tetaplah jerami, maka betapa berdosanya aku bila tak bisa merubah hidup keluargaku “ katanya berbicara pada diri sendiri. Hasrat untuk berubah perlahan tumbuh dalam dirinya, api semangat mulai menyala menyelimuti jiwa, hati dikukuhkan bagai baja, tak ada motivasi dari sosok lain hanya diri sendiri lah yang berniat untuk merubah keadaan meski Ia tak tahu tantangan seperti apa dan darimana saja yang akan mencoba menghalangi impian tersebut. Bermodalkan keteguhan hati, jernihnya fikiran dibarengi kesungguhan Ia sangat yakin dapat menggapai kesempurnaan mimpi. Lama berkhayal membuat perempuan sepertinya terlihat lelah namun Ia tak mau memejamkan mata maka diraihnya raport – raport usang berdebu, sebagian lembaran  tampak kekuningan terkena air hujan, kertasnya  sudah dipenuhi lubang termakan oleh rayap. Dibukanya lembaran usang itu secara perlahan, kandungan nilai – nilai yang tercantum didalamnya terlihat sangat memuaskan. Tak bisa dipungkiri perempuan seperti Astrid memang merupakan salah satu anak berprestasi tinggi disekolahnya, sudah terbukti dalam cantuman nilai raport sejak SD sampai dengan SMA Ia selalu berada pada peringkat pertama dikelas, pernah mengikuti olimpiade nusantara sehingga pemerintah provinsi pun pernah berhutang jasa, dimata masyarakat desa ia juga dikenal akan kebaikan budi pekerti maka tak heran bila semua orang di desa itu senang terhadapnya. Berpondasikan pengalaman pada moment kemarin membuat Ia semakin yakin bahwa dunia pasti akan berada dalam kepalan tangan, secara perlahan hati yang tadinya risau kini sudah sedikit merasa tenang.
         “ Tok, tok, tok,… Astrid ? pintu belakangnya terkunci, tolong bukakan “ seseorang berteriak dari arah dapur, panggilan dan suara itu tentu saja dikenalinya. Walaupun penuh kepayahan Astrid lansung mengambil tongkat lalu berjalan menuju pintu belakang. Tampak sang ayah baru saja pulang, bajunya basah penuh dengan keringat karena menahan beratnya beban dan tanpa menunggu perintah Ia mulai menyeduhkan segelas teh hangat kepada salah satu sosok mulia itu.
        “ Suatu saat ayah tidak akan memikul beban keluarga ini sendirian “ katanya seraya kembali menyodorkan secangkir teh.
         “ Hahhh… apa maksudmu berkata demikian, anakku? “ Tanya sang ayah merasa sedikit heran kala mendengar pernyataan anak emasnya.
         “ Ahhhhh… tidaklah mengapa, Ayah. Maaf aku salah bicara “ Ia membalikkan keadaan karena masih ada rasa takut untuk mengungkapkan niatnya. Sementara sang ayah menikmati suguhan teh, Ia memutar badan pergi meninggalkan ayahnya untuk membersihkan badan, kebetulan hari sudah menjelang sore, matahari pun mulai bersiap kembali keperaduannya.
Maghrib telah usai. Selepas makan malam ketiganya berkumpul diruang tamu yang ukuran luas hanya berkisar 5 meter, sembari duduk melantai. Sangat banyak cerita dikisahkan baik dari sang ayah maupun bunda, sebagai anak yang baik tentunya selalu mendengarkan pembicaraan dan nasehat kedua orang tuanya. Hingga tanpa disengaja pembicaraan terhenti… “ Astrid, sebagai anak ayah kau harus melanjutkan pembicaraan sore tadi. Ayah merasa akhir – akhir ini ada hal terselubung yang ingin kau sembunyika namun tidak kau utarakan kepada ayah maupun bunda, lekaslah katakan agar kami segera tahu “ ujar ayahnya. “ Apa benar kau punya masalah, anakku? “ lanjut sang ibu bertanya. Mendengar pertanyaan dari kedua orang tuanya, jantung Astrid sedetik lansung berdebar hebat, badannya gemetar, entah apa yang harus Ia katakan. Suasana demikian tentu tak bisa dihindarkan, terlebih lagi posisi mereka sebagai orang tua kandung jadi secara tidak lansung pertanyaaan itu haruslah segera dijawab. Dengan rasa gugup ! “ Ayah, Bunda, sebenarnya aku sangat ingin….. “ Astrid kembali menenangkan hati lalu menghela nafas panjang dan mulai mengungkapkan niat tulus yang kurang lebih terpendam selama satu tahun, dirinya penuh dengan sejuta harapan agar segala keinginan dapat dikabulkan oleh kedua orang tuanya. Suasana pun semakin hening, kedua sosok mulia itu mendengarkan setiap perkataan anak satu-satunya tersebut secara seksama tanpa ada ketertinggalan kata maupun kalimat. Saking serius mengungkapkan keinginannya, air mata pun jatuh tak tertahankan, terungkaplah sudah kesungguhan hati seorang Astrid setelah sekian lama memendam keinginan kini tinggalah saat menunggu keputusan dan restu dari kedua orang tuuanya. Entah restu itu akan diberikan atau tidak, sampai dengan larut malam Ia sendiri belum tahu.

*** Bs ***
Bersambung.....................!!!















1 komentar: